OPINI,Setara News – Parakang dalam mitologi Bugis-Makassar di daerah Sulawesi Selatan adalah manusia jadi-jadian pemakan rektum yang bisa berubah wujud (siluman) menjadi hewan. Makhluk ini sangat ditakuti, terutama oleh anak-anak.
Konon katanya parakang itu bergentayangan mencari mangsa mulai sore hari hingga menjelang subuh. Incarannya adalah perempuan hamil, bayi yang masih merah, dan orang yang sakit atau tengah sekarat.
Keberadaan parakang tentu saja membawa keresahan di tengah masyarakat setempat.Mereka yang “tersangka” sebagai parakang pun sering menjadi sasaran kemarahan dan kebencian warga. Seperti dikisahkan oleh Dul Abdurrahman dalam cerpennya: Sakka Dituduh Parakang (2023), tokohnya terkucilkan dan tersisih dari pergaulan sosial. Ada yang bahkan diusir keluar kampung (ripoppangi tanah, dalam bahasa Bugis), dan menerima berbagai sanksi sosial lainnya.
Di akhir hidup pun mereka sangat menderita: sakit tak ada yang menjenguk, sekarat tak ada yang menuntun karena khawatir ilmu parakngnya menular. Jenazahnya pun jadi terlantar dan tak terurus. Begitulah kisah tragis akhir hidup seorang yang dituduh parakang.
Belakangan ini, di dunia nyata, masyarakat juga dihantui oleh “parakang-parakang” modern yang menjelma dan bergentayangan di mana-mana. Mereka hadir bukan lagi dalam bentuk siluman hewan, tapi dalam rupa manusia yang rakus dan culas.
Mereka ditemukan di tempat-tempat profan seperti instansi pemerintahan, lembaga, sekolah, bank, dan sebagainya bahkan juga di tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral sekalipun majelis taklim, masjid, panti asuhan, dan rumah yatim-piatu juga tak luput dari incaran oknum yang bersembunyi di balik simbol-simbol kesucian.
Mereka inilah yang disebut sebagai “parakang doi” dengan buasnya mengisap uang yang bukan miliknya, menyikut sana-sini tanpa peduli halal-haram. Soal surga-neraka urusan belakang. Yang penting syahwat perut dan bawah perut puas terpenuhi. Keberadaan mereka ini sungguh menjengkelkan dan meresahkan.
Urat malunya seolah sudah putus. Sebagaiaman sabda Nabi yang menohok “Apabila kamu sudah tidak punya malu lagi; maka berbuatlah sesukamu”. (HR. al-Bukhāri).
Tak pelak, ulah parakang doi ini pun mengundang sumpah serapah dan cacian.Mereka dikutuk, jadi target KPK dan polisi. Akhir kisahnya bisa ditebak tragis, sama seperti parakang dalam mitologi. Sebagian tertangkap tangan, naasnya lagi bersama perempuan yang bukan mahramnya. Ternyata sebagian dari mereka para koruptor itu juga terindikasi sebagai “parakang” makkunrai. Bukan rahasia lagi kalau mereka dikelilingi wanita-wanita cantik sebagai pelampiasan nafsu bejat mereka.
Maka bersiap-siaplah! Jeruji besi dan lantai dingin penjara menjadi rumah berikutnya. Itu baru di dunia belum lagi di akhirat: menjadi santapan api neraka.Sebuah ironi seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam teori anominya (1897) bahwa “Kita hidup dalam kondisi norma dan moral tak lagi jadi pegangan. Akibatnya orang jadi bingung membedakan benar dan salah. Orang-orang hanya mengejar kepentingan pribadi secara liar”.
Oleh : Dr. Abror Bahari Bahari, Lc., MA (Peminat Kajian Sosial-Keagamaan)




